Pagi-pagi dapat curhatan dari seorang ibu yang anaknya bosan menghafal Al-Qur’an. Anaknya disekolahkan lembaga tahfiz, dari pagi sampai sore. Malamnya dan ba’da subuh juga diwajibkan murojaah hafalannya.
Bahkan beberapa bulan yang lalu juga dapat curhatan orang tua yang anaknya tidak mau lagi dipondok atau di sekolah berbasis tahfiz, padahal si anak sudah memiliki hafalan lumayan banyak, belasan juz. Si anak bosan dan terasa berat dan membosankan. Akhirnya membenci pelajaran tahfiz.
Hal ini harus menjadi perhatian kita semua, baik orang tua, guru, pengambil kebijakan sekolah atau yayasan. Izinkan saya memberikan beberapa pertimbangan sebagai masukan, bukan menghukumi.
Apakah untuk kepentingan lembaga, kepentingan orang tua, atau untuk anak?
Kalau untuk kepentingan lembaga/ortu, biasanya untuk “menjual” atau “mengharumkan” nama lembaga/ortunya. Apakah ini ikhlas? Silakan dijawab dengan hati nuranimu.
Alangkah bijaknya kalau kurikulum itu didasarkan kepada kepentingan anak bukan kepntingan lembaga atau orang tua. Untuk maslahat anak bukan maslahat lembaga atau orang tua.
Kalau untuk kepentingan anak, maka tujuan diadakan tahfiz adalah agar anak mencintai Al-Qur’an atau agar anak hidup bersama Al-Qur’an hingga mati sedang bersama Al-Qur’an.
Lantas kalau anak diajari tahfiz kok hasilnya bosan dan benci dengan Al-Qur’an, berarti ini ada kesalahan dari sisi teknisnya.
Ini sudah masuk wilayah teknis. Rata-rata lembaga yang menentukan target hafalan harian, bulanan, tahunan. Target itu disama-ratakan ke semua anak.
Disana ada anak yang merangkak, ada yang berjalan, dan ada yang berlari dalam menghafal. Yang merangkak akan terengah-engah putus nafasnya, kalau harus mengejar yang lain. Apalagi diberlakukan hukuman bagi yang tidak mencapai target. Akhirnya bosan, berat, stress dan benci pada tahfiz.
Maka alangkah bijaknya kalau TARGET ITU MENYESUAIKAN KEMAMPUAN ANAK.
Ini juga membuat anak cepat jenuh, bosan. Buatlah kegiatan belajar anak seperti kegiatannya dalam hidupnya.
Anak perlu belajar mengaktualisasikan ide dan gagasan, menuangkan kreatifitasnya, menyalurkan hobinya setelah penatnya belajar dan menghafal.
Inilah yang menghilangkan rasa bosan dan jenuh serta stressnya, sekaligus menggali potensi anak.
Terakhir coba renungkan firman Allah berikut ini.
Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah (Toha ayat 2)
Jangan sampai anak bosan, stress karena terasa berat. Sehingga anak menjauhi Al-Qur’an.
Motivasilah anakmu, agar memaksimalkan usahanya. Seberapa pun hasilnya hargailah. Karena Allah menghargai usahanya yang maksimal.
Jangan membebani/menargetkan yang anak tidak mampu, apalagi menghukumnya ketika tidak mencapai target. inilah kezaliman.
Allah tidak membebani kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al Baqarah/286)
(المعجم الكبير للطبراني 1378، السنن الكبرى للبيهقي 5498، ابن ماجه 61، وصححه الألباني في صحيح ابن ماجه 60)
Dari Judub bin Abdullah berkata, Dulu kami sebelum baligh bersama Rasulullah, kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur’an. Kemudian kami belajar Al-Qur’an maka bertambahlah iman kami. Adapun kalian sekarang belajar Al-Qur’an sebelum belajar iman.
(HR. Thobrani dalam mu’jamul kabir 1378, Sunan Al Kubra Al Baihaqi 5498, Ibnu Majah 61, dishohihkan Al Albani dalam shohih Ibnu Majah 60)
Hadits ini menjelaskan tahapan dalam mengajar, mengIMANkan dulu sebelum Tahfiz.
Demikian semoga bermanfaat.
Batam, 7 Desember 2019
By. Yusuf Iskandar
Pesan ini disampaikan oleh PONPES TAHFIZ dan PENGEMBANGAN BAKAT AL HIKMAH yang sekarang sedang membangun rumah guru. Dukungan bisa ditransfer ke BSM(451)704453-6867 an. BUDI ISKANDAR, AMd.