Ilmu Tafsir Al Quran Sejarah & Jenisnya – Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab. Terdapat banyak penjelasan di dalam Al Quran mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al Quran yang membutuhkan tafsir, apalagi terdapat menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun banyak makna. Oleh sebab itu, diperlukan penjelasan berupa ilmu tafsir Al Quran.
Tentunya, ilmu tafsir Al Quran sangat luas. Namun, di dalam penjelasan artikel percetakanalquran.com ini, hanya mengenai penjelasan garis besarnya saja. Oleh karena itu, pembaca perlu membaca kitab ilmu tafsir yang lebih lengkap. | Penerbit Alquran
Pada waktu Nabi masih hidup sudah banyak pertanyaan dari para sahabat mengenai maksud beberapa ayat Al-Qur’an. Bahkan, muncul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Oleh sebab itu, mereka dapat langsung menanyakannya pada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Secara garis besar, terdapat tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, diantaranya:
Terkadang satu masalah yang dijelaskan secara global di satu tempat, dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
Para sahabat dapat bertanya langsung kepada Rasulullah tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau bahkan karena perbedaan pendapat mereka.
Karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut sejumlah ulama karena disandarkan kepada Rasulullah. Terutama pada masalah azbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat). Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi (akal), maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an antara lain: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Kemudian, setelah generasi sahabat datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing masing. Ada tiga kota utama sebagai pusat pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri. Misalnya, Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain, Mujahid bin Jabir, Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan Al Yamani dan Said bin Jabir. Lalu, Madinah dengan madrasah Ubay bin Ka’ab dengan murid-murid, Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Abu Al-Aliyah Ar riyahi dan Zaid bin Aslam. Dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud dengan murid-murid, Al-Hasan Al Bashri, Masruq bin Al-Ajda, Qatadah bin Di’amah As Saduusi dan Murrah Al-Hamdani.
Pada masa ini, tafsir masih bagian dari hadits. Namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru-guru mereka sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri, namun belum sistematis hingga masa dipisahkannya antara hadits dan tafsir menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir Ath Thabari, Abu Bakr bin Al Munzir An Naisaburi dan lainnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan menuntut pengembangan metode tafsir dengan memasukkan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu, mereka tetap berpegang pada tafsir bi Al-Matsur, dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan tafsir bi Al-Ra’yi dimana ruang lingkup ijtihad lebih luas dibandingkan masa sebelumnya.
[ Baca Juga : Rekomendasi Penerbit Alquran Terbaik ]
Ada berbagai bentuk tafsir Al-Qur’an, namun bentuk yang paling penting untuk dikenal ada dua, yaitu:
Tafsir yang merujuk pada penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau penafsiran Al Qur’an dengan al-hadits melalui penuturan para sahabat. Jenis tafsir ini merupakan tafsir yang tertinggi yang tidak dapat diperbandingkan dengan sumber lain.
Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya…”. Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (illa ma yutla ‘alaikum) ditafsirkan dengan surat Al-Maidah:3
Contoh Surat Al-An’am ayat 82:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
Contoh surat an-Nisa’ ayat 2
Mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Perkembangan zaman membuat ilmu pengetahuan juga tumbuh maka menuntut pengembangan metode. Ini membutuhkan peran ijtihad yang lebih besar dibandingkan dengan tafsir bi Al-Matsur. Dengan bantuan ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menjelaskan dan mengembangkan maksud ayat dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Namun, tidak semua hasil tafsir yang mereka tulis bisa diterima karena merupakan hasil ijtihad yang berpeluang untuk benar dan salah.
Metodologi tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaron, dan maudlu’i.
Secara terminologi metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat terebut; ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, asbabun nuzulnya hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufasir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Metode tahlily ini umumnya ditafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah, yang mana semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan.
Ijmali secara etimologi berarti global, sehingga dapat diartikan tafsir al-ijmali adalah tafsir ayat al Qur’an yang menjelaskannya masih bersifat global. Secara termiologis menurut al farmawi adalah penafsiran AL Qur’an berdasarkan urut-urutan ayat dengan suatu urutan yang ringkas dan dengan bahasa yang sederhana sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang intelek.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat Al Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait.
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir, dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Tafsir maudhu’i adalah tafsir ayat Al Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi para mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al Qur’an itu sendiri atau dari yang lain-lain. Tafsir ayat Al Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk :
a). Menafsirkan satu surat dalam Al Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
b). Menafsirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk AL Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
[ Baca Juga : Penerbit Alquran ]
Kaidah-kaidah ilmu tafsir Al Quran sangat tinggi nilainya, dan manfaatnya juga sangat besar. Serta dapat membantu kita untuk memahami kalamullah dan dapat dijadikan penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna.
Secara ringkas kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran ada lima, yaitu kaidah quraniyah, kaidah sunnah, kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh, dan kaidah ilmu pengetahuan. Berikut akan dijelaskan mengenai kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran satu-persatu.
Kaidah quraniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Beberapa kaidah yang lazim digunakan dalam menjelaskan kaidah quraniyah antara lain sebagai berikut:
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam menanggapi ayat tersebut jumhur ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
Misalnya QS Al-Baqarah: 32
Artinya: Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya mengenai dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan mengatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?” untuk membuktikan kamahatahuan Tuhan, Dia mengajarkan Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat. Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemahatahuan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya.
Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.[7]
Contoh ayat muhkamat adalah QS Al- An’am: 154,
Artinya: Kemudian Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat) untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat agar mereka beriman akan adanya pertemuan dengan Tuhannya.
Sedangkan contoh ayat mutasyabihat adalah huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqatha’ah) yang terdapat pada awal surat, seperti lafad alif-lam-mim, alif-lam-ra, ha-mim, dan sebagainya.
[ Baca Juga : Fakta Ilmiah Alquran ]
Berdasarkan QS An-Nahl ayat 44 dan 64, Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi menurut wahyu Ilahi.[9]
Kaidah yang dipergunakan diantaranya ialah:
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Oleh karena itu, berarti tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahaminya kecuali dengan menguasai dan memahami bahasa Arab. Di antara kaidah-kaidah yang harus dipahami antara lain:
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-Nya atau kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikit pun berarti menetapkan kesempurnaan. Contoh: Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia melarang berbuat zalim. Larangan berdusta berarti perintah berbuat jujur. Penafian sifat kadzib Rasul saw, berarti penetapan sifat jujurnya.
Baca Juga :