Dalam Islam, ilmu pengetahuan sangatlah penting. Menuntut ilmu sama dengan ibadah dan bertasbih. Bahkan ilmu sanggup menjadi amal yang mengalir terus pahalanya bagi orang yang mengajarkannya kepada orang lain. Betapa tidak, dengan ilmu, meskipun dalam kesunyian, seseorang sanggup berbagi diri dan bercengkerama dengan pikiran dan penelitian. Bagi orang yang berilmu, tidak ada hari yang sunyi sebab ilmu ialah sobat sejati yang tidak terpisahkan dari dirinya. Dengan ilmu insan menjadi mulia, kemuliaan insan terletak pada ilmu dan ketakwaannya.
A. Lafal Bacaan Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 122.
wamaa kaana lmu’minuuna liyanfiruu kaaffatan falawlaa nafara min kulli firqatin minhum thaa-ifatun liyatafaqqahuu fii ddiini waliyundziruu qawmahum idzaa raja’uu ilayhim la’allahum yahtsaruun
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, biar mereka sanggup menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah : 122).
B. Isi Kandungan Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 122.
Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah kalau tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, karenanya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: (Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (di antara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di daerah (untuk memperdalam pengetahuan mereka) yakni tetap tinggal di daerah (mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu sanggup menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memperlihatkan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah karena Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada kalau Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah. (Tafsir al-Jalalain)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari ‘Ikrimah’ bahwa saat turun ayat, “Jika kami tidak berangkat (untuk berperang), pasti Allah akan menghukum kau dengan azab yang pedih…” (at-Taubah : 39)—padahal waktu itu sejumlah orang tidak ikut pergi berperang sebab sedang berada di padang pasir untuk mengajar agama kepada kaum mereka—maka orang-orang munafik mengatakan, — “Ada beberapa orang di padang pasir tinggal (tidak berangkat perang). Celakalah orang-orang padang pasir itu”. Maka turunlah ayat, “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang)….
Dalam Tafsir al-Maragi dikatakan bahwa tidaklah patut bagi orang-orang Mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena perang itu sebenarnnya farḍu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan farḍu ‘ain, yang wajib dilakukan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengarahkan kaum Mukmin menuju medan perang.
Ayat tersebut merupakan aba-aba wacana wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya di tempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang orang lain kepada agama. Sehingga, mereka mengetahui hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap Mukmin.
Orang-orang yang beruntung, dirinya memperoleh kesempatan untuk mendalami agama dengan maksud menyerupai ini. Mereka menerima kedudukan yang tinggi di sisi Allah Swt, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat Allah Swt, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih utama dari para pejuang selain situasi saat mempertahankan agama menjadi wajib ‘ain bagi setiap orang.