5 Kalimat Dzikir Ringan yang Pahalanya Dahsyat
27/10/2025Percetakan Alquran – Jika Semua Sudah Ditakdirkan, Untuk Apa Berusaha? Sebuah dilema yang mungkin pernah terlintas di benak setiap Muslim yang berpikir: “Jika hasil akhirnya apakah saya akan kaya atau miskin, sukses atau gagal, bahkan masuk surga atau neraka sudah tertulis di Lauhul Mahfudz, lantas apa gunanya semua usaha, keringat, dan doa saya?”
Jika Semua Sudah Ditakdirkan, Untuk Apa Berusaha?
Pertanyaan ini wajar, namun ia lahir dari pemahaman yang belum utuh tentang konsep Qada dan Qadar (takdir) dalam Islam.
Jika kita hanya pasrah tanpa bertindak, itu bukanlah tawakal, melainkan fatalisme (kepasrahan buta) yang keliru. Islam adalah agama yang menyeimbangkan antara keyakinan mutlak pada kekuasaan Allah dan perintah tegas untuk berusaha (ikhtiar).
Untuk menjawab “untuk apa berusaha?”, kita perlu memahami bagaimana kedua konsep ini bekerja harmonis.
Memahami Dua Jenis Takdir
Kunci pertama untuk mengurai benang kusut ini adalah memahami bahwa para ulama membagi takdir menjadi dua jenis:
1. Takdir Mubram (Takdir Absolut)
Ini adalah ketetapan Allah yang mutlak, pasti terjadi, dan tidak bisa diubah oleh usaha manusia. Kita tidak memiliki pilihan atau peran di dalamnya.
- Contoh: Kapan kita lahir, siapa orang tua kita, jenis kelamin kita, di mana kita akan meninggal, dan kapan terjadinya hari kiamat.
- Sikap Kita: Terhadap takdir jenis ini, sikap kita adalah ridha (menerima dengan lapang dada).
2. Takdir Mu’allaq (Takdir yang “Tergantung”)
Inilah bagian yang sering disalahpahami. Mu’allaq berarti “tergantung”. Takdir ini adalah ketetapan Allah yang di-gantungkan pada sebab-sebab tertentu, dan usaha (ikhtiar) serta doa kita adalah bagian dari sebab-sebab itu.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ar-Ra’d ayat 11:
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…”
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa ada “keadaan” yang perubahannya diserahkan kepada kita.
- Contoh:
- Rezeki: Takdirnya mungkin “mendapat uang”, tapi sebab-nya adalah “bekerja”.
- Kesehatan: Takdirnya mungkin “sembuh”, tapi sebab-nya adalah “berobat”.
- Ilmu: Takdirnya mungkin “paham”, tapi sebab-nya adalah “belajar”.
“Usaha” Adalah Bagian dari “Takdir” Itu Sendiri
Inilah jawaban terpentingnya: Usaha (ikhtiar) kita bukanlah sesuatu yang berada di luar skenario takdir. Justru usaha itulah bagian dari skenario takdir.
Mari kita gunakan analogi sederhana:
Allah telah menetapkan takdir bahwa si A akan “kenyang”. Tapi takdir “kenyang” itu tidak turun dari langit. Takdir itu terwujud karena si A ditakdirkan untuk merasa lapar, yang kemudian mendorongnya untuk berusaha mencari nasi, lalu memilih untuk memakannya.
Rangkaian (Lapar -> Usaha Cari Nasi -> Makan -> Kenyang) adalah satu paket skenario takdir yang utuh.
Usaha kita adalah jembatan yang telah Allah takdirkan untuk kita lewati demi menjemput takdir baik kita. Allah tidak hanya menetapkan hasil, Ia juga menetapkan proses untuk mencapainya.
Mengapa Kita Tetap Wajib Berusaha?
Masih bingung? Mari kita pecah alasannya mengapa usaha itu wajib, meskipun semua sudah tertulis.
1. Karena Kita Tidak Tahu Apa Takdir Kita
Takdir adalah rahasia Allah (ghaib). Kita tidak pernah diberi bocoran tentang hasil akhir hidup kita. Karena kita tidak tahu, satu-satunya hal logis yang bisa kita lakukan adalah berusaha melakukan yang terbaik.
Bayangkan Anda berada di depan dua pintu. Anda tidak tahu pintu mana yang berisi hadiah. Apakah Anda akan diam saja? Tentu tidak. Anda akan berusaha memilih satu pintu berdasarkan pertimbangan terbaik Anda. Usaha memilih itulah tugas Anda.
2. Karena Usaha Adalah Perintah dan Ibadah
Allah secara eksplisit memerintahkan kita untuk bekerja dan berusaha.
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin…'” (Q.S. At-Taubah: 105)
Kita berusaha bukan karena kita “menantang” takdir. Kita berusaha karena itu adalah bentuk ketaatan kita pada perintah Allah. Setiap tetes keringat yang kita keluarkan untuk mencari nafkah halal adalah ibadah.
3. Karena Kita Dihisab Atas Pilihan (Ikhtiar) Kita
Allah memberi kita akal dan kehendak bebas (free will) untuk memilih. Kita bisa memilih untuk shalat atau tidur, bekerja atau bermalas-malasan, berbuat baik atau jahat.
Adanya surga dan neraka adalah bukti paling nyata bahwa pilihan kita nyata dan penting. Kita dihisab (dihitung amalnya) bukan berdasarkan hasil akhir yang tidak kita ketahui, melainkan berdasarkan pilihan dan usaha yang kita ambil selagi hidup. || Jika Semua Sudah Ditakdirkan Untuk Apa Berusaha
“Ikat Untamu, Lalu Bertawakallah”
Konsep yang menyempurnakan ini adalah tawakal. Banyak yang salah mengartikan tawakal sebagai pasrah total dari awal. Padahal, tawakal yang benar adalah usaha maksimal, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Kisah paling terkenal adalah ketika seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW dan membiarkan untanya tanpa diikat. Ia berkata, “Aku bertawakal kepada Allah.”
Apa jawaban Rasulullah SAW?
“Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini adalah panduan sempurna. “Ikat untamu” adalah simbol dari ikhtiar (usaha) maksimal yang harus kita lakukan. “Lalu bertawakallah” adalah fase pasrah setelah kita melakukan semua yang kita bisa. || Jika Semua Sudah Ditakdirkan Untuk Apa Berusaha
Kesimpulan
Jadi, untuk apa kita berusaha jika semua sudah ditakdirkan?
- Kita berusaha karena itu adalah perintah Allah dan bernilai ibadah.
- Kita berusaha karena kita tidak tahu apa takdir kita, dan tugas kita adalah menjemput takdir terbaik.
- Kita berusaha karena Allah menghisab kita atas pilihan dan usaha kita, bukan hanya hasil akhirnya.
- Kita berusaha karena usaha itu sendiri adalah bagian dari skenario takdir Allah untuk kita.
Jangan lagi bertanya, “Untuk apa berusaha?”. Ubah pertanyaannya menjadi, “Usaha terbaik apa yang akan aku lakukan hari ini untuk menjemput takdir terindah yang telah Allah siapkan untukku?”
