Pengertian nasikh dan mansukh, macam-macam nasikh dan mansukh, Ciri-ciri naṣh yang tidak sanggup di-Naskh, Syarat naṣ yang sanggup di-Naskh, bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Qur’an dan Hikmah adanya Nasikh Mansukh.
1. Pengertian Naskh secara etimologi (bahasa).
Naskh ialah ism fa’il (bentuk subyek) dari kata kerja nasakha dan maṣdar-nya ialah naskh Terdapat beberapa arti kata naskh, diantaranya ialah al-izalah artinya “menghapus” Dalam al-Qur`an disebutkan:
Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ḥajj : 52)
Diartikan juga at-tabdil artinya “menukar”. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Naḥl ayat 101:
Artinya: “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di daerah ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kau ialah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.”
Selain itu, naskhu juga sanggup berarti al-taḥwīl artinya “mengubah”, selain itu juga sanggup diartikan al-naql artinya “memindahkan”.
2. Pengertian Naskh secara terminologi (istilah).
Secara terminologi Nasikh ialah mengangkat (menghapuskan) dalil aturan syar‘i dengan dalil aturan syar’i yang lain. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan Mansūkh ialah aturan syara’ yang telah dihapus. Sebagaimana hadis Nabi:
Artinya: “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, kini berziarahlah.” (HR. atTirmidzi)
Hukum syara’ larangan ziarah kubur kini telah Mansukh (telah dihapus) dengan kebolehan berziarah kubur, berdasarkan hadis ini.
3. Macam-macam Nasikh.
Karena sumber atau dalil-dalil syara’ ada dua yaitu al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.., maka ada empat jenis Nasikh, yaitu:
a. Naskh sunnah dengan sunnah.
Suatu aturan yang dasarnya sunnah kemudian di-Naskh dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya: larangan ziarah kubur yang di-Naskh menjadi boleh, menyerupai pada hadis di atas.
b. Naskh sunnah dengan al-Qur`an.
Suatu aturan yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian di-Naskh atau dihapus dengan dalil al-Qur`an, menyerupai ayat perihal ṣalat yang semula menghadap Baitul Maqdis diganti dengan menghadap ke Kiblat sehabis turun QS. al-Baqarah ayat 144:
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kau ke kiblat yang kau sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram….
c. Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an.
Ada beberapa pendapat ulama perihal Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an ada yang menyampaikan tidak ada Nāsikh dan Mansūkh dalam ayat-ayat al-Qur`an alasannya tidak ada yang batil dari al-Qur`an, diantaranya ialah Abu Muslim al-Isfahani, berdasarkan firman Allah Swt:
Artinya: “yang tidak tiba kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fuṣṣilat : 42 )
Pendapat kedua menyampaikan bahwa ada Nasikh Mansukh dalam ayat-ayat al-Qur`an tetapi bukan menghapus atau membatalkan hukum, yang berarti hanya merubah atau mengganti dan keduanya masih berlaku. Contoh QS. al-Anfal ayat 65 yang menjelaskan satu orang muslim harus bisa menghadapi 10 orang kafir, di-naskh dengan ayat 66 yang menjelaskan bahwa satu orang muslim harus sanggup menghadapi dua orang kafir. Ayat 66 me-naskh ayat sebelumnya akan tetapi bukan menghapus kandungan ayat 65. Kedua ayat ini masih berlaku menyesuaikan dengan kondisi dan situasi. Demikian berdasarkan beberapa ulama.
4. Bentuk-bentuk Naskh dalam al-Qur`an.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, dominan ulama membagi Naskh menjadi tiga macam yaitu:
a. Penghapusan terhadap aturan (ḥukm) dan bacaan (tilāwah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan lagi. Misal, sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah:
Artinya: “Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur`an) ialah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw. wafat, aturan yang terakhir tetap dibaca sebagai kepingan alQur`an”
b. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada.
Misalnya, ayat perihal mendahulukan sedekah pada QS. Mujadilah : 12:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kau mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kau mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu ialah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jikalau kau tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka gotong royong Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“
Ayat ini di-Naskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13):
Artinya: “Apakah kau takut akan (menjadi miskin) alasannya kau memperlihatkan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jikalau kau tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang anda kerjakan.”
c. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Contoh kategori ini ialah ayat rajam.
Mula-mula ayat rajam ini termasuk ayat al-Qur`an. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
Artinya: “Jika seorang laki-laki renta dan perempuan renta berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita perihal orang renta yang berzina dan kemudian di-Naskh di atas diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl.
5. Ciri-ciri naṣh yang tidak sanggup di-Naskh.
Tidak semua naṣ (dalil) dalam al-Qur`an maupun hadis sanggup di-naskh, diantara yang tidak sanggup di-naskh antara lain yaitu:
a. Naṣh yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah Swt, Rasul, kitab suci, hari akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok iman dan ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok keutamaan, menyerupai menghormati orang tua, jujur, adil dan lain-lain. Demikian pula dengan naṣ yang berisi pokokpokok keburukan atau dosa, menyerupai syirik, membunuh orang tanpa dasar, durhaka kepada orang tua, dan lain-lain.
b. Naṣh yang meliputi hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) untuk selamanya (Q.S. an-Nur : 4).
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kau terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
c. Naṣh yang memperlihatkan bencana atau informasi yang telah terjadi pada masa lampau. Seperti dongeng kaum ‘Ad, kaum Ṡamūd, dan lain-lain. Me-naskh-kan yang demikian berarti mendustakan informasi tersebut. Undangan Online
6. Syarat naṣ yang sanggup di-Naskh.
Jika dilihat dari segi syarat-syarat naṣh-naṣh yang sanggup di-naskh berdasarkan Abu Zahrah menyerupai yang dikutip Nasiruddin Baidan, ada beberapa kriteria, yaitu:
a. Hukum yang mansūkh (dihapus) tidak memperlihatkan berlaku abadi.
b. Hukum yang mansūkh bukan suatu aturan yang disepakati oleh daypikir perihal baik dan buruknya.
c. Ayat nāsikh (yang menghapus) tiba sehabis yang di-mansukh (dihapus) dan keadaan kedua naṣ tersebut sangat bertentangan dan tidak sanggup dikompromikan.
7. Hikmah adanya Nasikh Mansukh.
Diantara nasihat adanya nasikh mansukh adalah:
a. Meneguhkan keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan kebijaksanaan manusia. Sehingga jalan pikiran insan takkan pernah bisa mengikat Allah Swt. Allah bisa melaksanakan apa saja, sekalipun berdasarkan insan hal tersebut tidak logis.
Tetapi Allah Swt akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diperlukan dari keberadaan nāsikh dan mansūkh ini akan bisa meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
b. Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, alasannya memang pada kenyataannya hukum-hukum naskh dan mansūkh tersebut semuanya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia.
c. Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum).
d. Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat tepat sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.
e. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
f. Menghendaki kebaikan dan akomodasi bagi umat. Sebab jikalau naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat pemanis pahala, dan jikalau beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung akomodasi dan keringanan.
pingback :