Titik dan harakat ternyata baru ada jauh setelah Rasul SAW wafat.
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat Alquran. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda, seperti pada huruf ba (ب), ta (ت), tsa (ث).
Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf Alquran. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar.
Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Penerapannya adalah sebagai berikut:
Untuk membedakan antara dal (د) dan dzal (ذ), ra’ (ر) dan zay (ز), shad (ص) dan dhad (ض), tha’ (ط) dan zha’ (ظ), serta ‘ain (ع) dan ghain (غ), maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
Untuk pasangan sin (س) dan syin (ش), huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun. Sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ba’ (ب), ta (ت), tsa (ث), nun (ن), dan ya’ (ي).
Untuk rangkaian huruf jim (ج), ha’ (ح), dan kha’ (خ), huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan. Sedangkan pasangan fa’ (ف) dan qaf (ق), seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya.
Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik di bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.
Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah.
Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf.
Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. Di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl.
Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi dari sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya.
Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil di bawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan menggandakan penulisan masing-masing tanda tersebut, di samping ada beberapa tanda lain.
Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik, yaitu bahwa tanda titik (nuqath al-i’jam) ternyata telah dikenal dalam tradisi bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada masa awal Islam sebelum mushaf ‘Utsmani ditulis.
Ada beberapa penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain: Pertama, batu nisan Raqusy (di Mada’in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang tertua, diduga ditulis pada tahun 267 M. Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra’ dan syin. Kedua, dokumentasi dalam dua bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Austria). Dokumentasi ini menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay.
Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H. Terdapat 10 karakter huruf yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta. Sehingga tepatlah jika disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar adalah sebuah upaya menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Wallahu A’lam.
Baca Juga: Sejarah Percetakan Alquran