Pengertian Tafsir bil Ma’sur.
Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsir bil ma’sur merupakan adonan dari tiga kata; tafsir, bi dan al-ma’sur. Secara bahasa tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Kata bi berarti “dengan” sedangkan al-ma’sur berarti ungkapan yang dinukil oleh khalaf (masa sekarang) dari salaf (masa awal Islam). Dengan demikian secara etimologi tafsir bil ma’sur berarti menyingkap isi kandungan al-Qur`an dengan klarifikasi yang dinukil oleh ulama khalaf dari ulama salaf.
Sedangkan berdasarkan Manna’ Khalil Qattan secara terminologis pengertian tafsir bil ma’sur, adalah:
“Tafsir bil Ma’sur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Sahih, yaitu menafsirkan al-Qur`an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah alasannya yaitu ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat alasannya yaitu merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in alasannya yaitu pada umumnya mereka mendapatkan dari para Sahabat”.
Definisi menyerupai ini, berdasarkan catatan as-Suyuṭi berasal dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan az-Zarqani. Az-Zarqani yaitu orang yang pertama menyebutkan bahwa tafsir bil ma’sur yaitu penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an, atau ḥadis atau pendapat Sahabat atau Tabi’in. Sedangkan sebelum az-Zarqani, yang dimaksud tafsir bil ma’sur yaitu kumpulan penafsiran Nabi, Sahabat dan Tabi’in. Ulama’ yang memahami bahwa tafsir bil ma’sur bukan penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an atau hadis atau pendapat Sahabat atau Tabi’in yaitu as-Suyuti. Dalam muqaddimah tafsirnya, as-Suyutị menyampaikan bahwa isi dari kitab tafsirnya yaitu kumpulan dari penafsiran-penafsiran Nabi Muhammad Saw, para Sahabat dan Tabi’in. Demikianlah perbedaan definisi dari tafsir bil ma’sur.
Klasifikasi Tafsir bil Ma’sur.
Di atas telah dibahas perihal perbedaan dalam memaknai tafsir bil ma’sur. Pertama yaitu pendapat yang meyakini tafsir bil ma’sur dengan penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an, hadis, pendapat Sahabat dan Tabi’in. Kedua, tafsir yang berupa kumpulan penafsiran Nabi, Sahabat dan Tabi’in. Sekalipun redaksionalnya berdekatan, namun hakekat dari kedua definisi ini sangat jauh berbeda.
Tafsir bil ma’sur, kalau diartikan sebagai kompilasi penafsiran Nabi, Sahabat dan Tabi’in, maka riwayat berfungsi sebagai penafsiran. Riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.., Sahabat dan Tabi’in secara pribadi menjelaskan ayatayat al-Qur`an. Riwayat tersebut pribadi menjelaskan bahwa maksud ayat “ini” yaitu “begini”. Oleh alasannya yaitu itu, tafsir bil ma’sur semacam ini yaitu naql (penukilan riwayat). Dengan demikian, maka penulis kitab tafsir hanya menulis tafsir dengan menukil riwayat Nabi, Sahabat atau Tabi’in dalam menafsirkan ayat al-Qur`an. Definisi semacam inilah yang dipegang oleh al-Suyuti.
Sedangkan bila tafsir bil ma’sur diartikan sebagai penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an, atau hadis atau pendapat Sahabat atau Tabi’in, maka bukan lagi naql melainkan istidlal. Istidlal berarti menafsirkan al-Qur`an dengan Ra’yi (akal) yang didasari dengan dalil, baik dalil itu dari al-Qur`an sendiri atau dari hadis Nabi, atau dari pendapat Sahabat atau Tabi’in. Dalam definisi tafsir jenis ini, riwayat tidak lagi berfungsi sebagai penafsiran, melainkan sebagai argumentasi.
Mufassir akan menyampaikan bahwa berdasarkan pendapatnya tafsir ayat “ini” yaitu “begini” dasarnya yaitu surah ini ayat ini, atau hadis ini, atau pendapat Sahabat ini, atau pendapat Tābi’īn ini. Sehingga dalil al-Qur`an, hadis nabi, pendapat Sahabat atau Tabi’in hanya sebagai sandaran, sedangkan penafsiran berasal dari anutan penafsir sendiri.
Macam dan Bentuk Tafsir bil Ma’sur.
Berdasarkan definisi tafsir bil ma’sur berdasarkan az-Zarqani, penafsiran ini sanggup dibagi menjadi empat macam yaitu:
1). Penafsiran ayat al-Qur`an dengan ayat yang lain. Ayat-ayat al-Qur`an, berdasarkan para hebat tafsir, saling menafsirkan antara satu dengan lainnya. Misalnya, katakata al-muttaqin (orang-orang yang bertakwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5):
Artinya: “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap menerima petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung”. (QS. al- Baqarah : 3-5).
2). Penafsiran ayat al-Qur`an dengan hadis Nabi Muhammad Saw..
3). Penafsiran ayat al-Qur`an dengan pendapat para Sahabat. Ayat QS. al-Baqarah ayat 158 yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya Ṣafa dan Marwa yaitu di antara syiar-syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke BaitullAh dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sebetulnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. al- Baqarah : 158)
Mengenai ayat ini seorang kemenakan `Aisyah menanyakan kepadanya, maka `Aisyah ra. menjelaskan bahwa “peniadaan dosa” di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan kaum muslimin bahwa sa’i di antara Ṣafa danMarwa yaitu termasuk perbuatan jahiliyah? Dijawab dengan hadis yang berbunyi berikut Artinya: “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Ṣafa.” (HR.Muslim)
4). Penafsiran ayat al-Qur`an dengan pendapat Tabi’in. Firman Allah dalam QS. al Baqarah ayat 26 sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan menciptakan perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.”
Menurut Ḥasan ‘Ibn Yahya, mengapa Allah menyebut nyamuk atau yang sebangsanya yaitu lalat dan laba-laba, dan orang musyrik berkata, mengapa Allah Swt menyebut sebangsa lalat dan laba-laba, berdasarkan Ibn `Abbas ini yaitu merupakan gejala kekuasaan Allah Swt.