Al-Qur’an Surat Al-Isra’ Ayat 36.
“Dan janganlah kau mengikuti apa yang kau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Memahami Isi Kandungan Al-Qur’an Surat Al-Isra’ Ayat 36
Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini memberi tuntunan bahwa dihentikan mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuan ihwal hal itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Bahkan al-Qatadah menegaskan, janganlah seseorang menyampaikan mendengar padahal ia belum mendengarnya, jangan menyatakan melihat padahal ia sendiri belum melihatnya dan jangan pula menyatakan mengetahui sesuatu padahal ia sendiri belum mengetahuinya. Karena itulah Rasulullah Saw. “meminta umatnya untuk menjauhi perilaku menduga-duga (dzan) atau berprasangka alasannya hal itu termasuk perbuatan dosa”.
Dari satu sisi tuntunan ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, menyerupai tuduhan, sangka buruk, kebohongan dan kesaksian palsu. Di sisi lain ia memberi tuntunan untuk memakai pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat-alat untuk meraih pengetahuan. (QS.An-Nahl : 78)
Sayyid Qutub berkomentar bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya yang sedemikain singkat telah menegakkan suatu sistem yang tepat bagi hati dan akal. Bahkan ayat ini menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati insan dan pengawasan Allah SWT. Tambahan dan pemfokusan ini merupakan keistimewaan Islam dibanding dengan metode-metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini.
Pintu-pintu atau media untuk sampainya ilmu ialah melalui al-sam’u (pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fu’adu (perenungan-pemikiran). Ketiganya harus diintegrasikan dengan baik untuk memaksimalkan pendidikan intelektual seseorang. Karena itu, perlu dipahami bahwa yang dilihat di sini ialah fungsinya, potensinya, bukan alatnya. Ada orang yang punya mata tapi tidak melihat, punya indera pendengaran tapi tidak mendengar. Punya hati tapi tidak merenungkan. Bendanya: uzunun, ‘ainun, qalbun (QS. Al-A’raf: 179).
Al-Qur’an mengajarkan insan biar bersikap kritis, dengan cara memakai pendengaran, penglihatan dan budi pikiran. Karena itu, fatwa Islam melarang orang bertaqlid dalam agama, yaitu mengikuti saja tanpa mengetahui dalil atau sumber rujukannya. Sikap taqlid sama dengan meniadakan adanya potensi budi yang Allah Swt berikan kepadanya. Ayat ini sangat relevan dalam konteks pembelajaran aktif (active learning) yang berusaha memaksimalkan potensi generik inderawi tersebut untuk memperoleh dan membuatkan ilmu.
Baca Juga:
Hikmah dari ayat ini ialah mengajarkan kepada kita bahwa jangan asal bicara, memutuskan, melangkah, sebelum mempunyai pengetahuan yang kuat/benar. Karena pendengaran, penglihatan dan budi semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.