Sejarah Tafsir al-Qur`an pada masa Nabi Muhammad Saw
a. Kondisi Penafsiran.
Pada masa Nabi Muhammad Saw. ia berfungsi sebagai mubayyin atau mufassir (pemberi penjelasan) kepada para Sahabat-Sahabatnya wacana kandungan dari al Qur`an khususnya wacana ayat-ayatnya belum dipahami. Hal ini dijelaskan dalam QS. an-Nahl : 44:
“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an semoga kau menunjukan kepada umat insan apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Misalnya dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah menjelaskan bahwa maksud قُوَّةٍ dari QS. al-Anfal : 60:
Artinya: “Persiapkanlah untuk mereka semampumu dari kekuatan”.
Maksud dari kata quwwah yaitu memanah dengan sabda ia yang artinya “Ketahuilah bahwa kekuatan itu yaitu memanah”
b. Karakteristik Penafsiran Pada Masa Nabi Saw.
1) Menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an.
Nabi menjelaskan kata ظُلْمٍ pada QS. al-An’am :82:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan kepercayaan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang menerima keamanan dan mereka itu yaitu orang-orang yang menerima petunjuk.”
dengan ٱلشِّرْكَ berdasarkan QS. Luqmān [31]:13: إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Juga, saat ia ditanya wacana siapakah “orang-orang yang diberi nikmat?” sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Fatihah : 6-7?
6
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,”
7
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Nabi Muhammad Saw. menjelaskan dengan QS. An-Nisa’ ayat 69:
“Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bantu-membantu dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi Nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.
1. Sejarah Tafsir al-Qur`an pada Masa Sahabat
2. Sejarah Tafsir al-Qur`an pada Masa Tabi’in dan Masa Tadwin (Pembukuan Kitab Tafsir)
2) Menafsirkan al-Qur`an dengan Ilmu Nabi Muhammad Saw.
Muhammad yaitu Nabi dan Rasul Allah Swt. Seluruh perbuatan dan perkataan ia dijaga dan selalu dalam bimbingan Allah Swt.
Hal ini dipertegas oleh Allah Swt. dalam QS. an-Najm : 3-4:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) berdasarkan kemauan hawa nafsunya (Muhammad). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Hal ini juga menjadi dasar bahwa walaupun klarifikasi yang berasal dari ia sendiri juga menerima petunjuk dari Allah Swt. Beberapa pola dari penafsiran ia yaitu klarifikasi ia wacana tata cara ṣalāt sebagaimana diperintahkan Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah : 43:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”
Perintah mendirikan shalat tersebut masih berbentuk umum yang memerlukan penjelasan, menyerupai wacana bagaimana tata cara shalat, bagaimana bacaan-bacaannya dan lain-lain. Maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik ke atas bukit kemudian melaksanakan shalat sampai sempurna, kemudian bersabda:
“Shalatlah kamu, sebagaimana kau telah melihat saya shalat” (HR. Bukhari).